News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

“Kalau Kalah Karena Tak Pakai Uang, Lalu Siapa yang Salah?”

“Kalau Kalah Karena Tak Pakai Uang, Lalu Siapa yang Salah?”


Oleh: Yoseph Sanga (Ocep Purek) 

Kupang, NTTpride.com - Pernyataan seorang politisi yang kalah dalam Pemilihan Gubernur (Pilgub) NTT dan kemudian mengklaim kekalahannya terjadi karena “tidak menggunakan politik uang” patut dikritisi dengan serius. Klaim seperti ini bukan sekadar ungkapan kekecewaan, tetapi juga mencerminkan cara pandang sempit terhadap demokrasi dan integritas politik.

Mengeluh karena kalah tanpa “money politics” berarti secara tidak langsung mengakui bahwa kemenangan dalam pemilu seolah hanya bisa dibeli. Padahal, justru di sinilah letak persoalan besar demokrasi kita: ketika sebagian elite politik lebih percaya pada kekuatan uang ketimbang kekuatan ide.

Politik Uang: Racun Demokrasi yang Menular

Politik uang pemberian uang atau barang demi mendapatkan suara sudah menjadi penyakit lama dalam pemilu di Indonesia. Di banyak daerah, termasuk Nusa Tenggara Timur, praktik ini kerap muncul dalam bentuk “bagi-bagi amplop”, janji proyek, hingga bantuan mendadak menjelang pencoblosan.

Memang, bagi sebagian calon, politik uang terlihat sebagai jalan pintas menuju kemenangan. Namun, dalam jangka panjang, politik uang adalah racun yang mematikan demokrasi. Ia melahirkan hubungan transaksional antara pemimpin dan rakyat, mengikis kepercayaan publik, dan menghasilkan pemerintahan yang rapuh secara moral.

Bagaimana mungkin seorang pemimpin yang membeli suara bisa diharapkan bekerja untuk rakyat? Ia justru akan sibuk “mengembalikan modal politiknya”, bukan melayani kepentingan publik.

Kekalahan Bukan Karena Tak Membayar, Tapi Karena Tak Meyakinkan

Mengatakan kalah karena tidak menggunakan politik uang berarti menolak introspeksi. Pemilu bukan ajang transaksi; ia adalah ruang untuk memperjuangkan gagasan dan meyakinkan publik. Jika seorang politisi kalah, barangkali bukan karena ia tidak membayar, tetapi karena ia gagal meyakinkan.

Masyarakat NTT kini jauh lebih cerdas. Mereka semakin kritis dalam menilai calon pemimpin melihat visi, rekam jejak, dan komitmen untuk membawa perubahan nyata. Pemilih tahu bahwa uang seratus atau dua ratus ribu rupiah hanya bertahan sehari, sementara kebijakan buruk bisa menyengsarakan lima tahun.

Pemilu seharusnya menjadi arena adu ide, bukan adu isi kantong. Karena itu, politisi yang masih mengandalkan narasi “kalah karena tak pakai uang” sesungguhnya sedang mengakui kemalasannya untuk berinovasi dalam kampanye dan komunikasi publik.

Kampanye Cerdas, Bukan Kampanye Mahal

Era digital telah membuka peluang besar untuk berkampanye secara cerdas, kreatif, dan murah. Calon pemimpin bisa membangun kedekatan emosional dengan rakyat lewat dialog terbuka, media sosial, dan program nyata yang menyentuh kebutuhan publik.

Politik yang beretika bukan sekadar idealisme kosong. Ia justru membangun fondasi kepercayaan publik yang kokoh. Pemimpin yang dipilih karena gagasannya akan memiliki legitimasi moral yang kuat untuk bertindak. Sebaliknya, pemimpin yang menang karena membeli suara akan hidup dalam bayang-bayang kecurigaan dan ketidakpercayaan.

Membangun Demokrasi yang Bermartabat

Kekalahan dalam pemilu memang menyakitkan, tetapi seharusnya menjadi ruang refleksi, bukan alasan pembenaran. Seorang politisi yang berjiwa besar akan menggunakan kekalahan untuk belajar memahami apa yang diinginkan rakyat, bukan menyalahkan sistem atau menuding bahwa dirinya kalah karena “tidak membeli suara”.

Demokrasi yang sehat hanya bisa tumbuh dari integritas. Jika ingin memimpin rakyat, mulailah dengan menghormati mereka bukan dengan uang, melainkan dengan ide, empati, dan kerja nyata.

Politik uang boleh jadi masih ada, tetapi masyarakat NTT tidak lagi bisa dibeli semurah itu. Mereka menginginkan pemimpin yang berpikir, bukan hanya membayar.

Maka, jika seorang calon kalah karena menolak politik uang, itu bukanlah aib. Tapi jika ia kalah lalu menyalahkan idealismenya sendiri, itu justru tanda bahwa ia belum siap menjadi pemimpin yang sesungguhnya.

Demokrasi tidak butuh pemimpin yang pandai membagikan uang, melainkan yang mampu membagikan harapan. Politik uang mungkin masih menjadi godaan, tetapi politik gagasan adalah masa depan.Dan di NTT tanah yang kaya akan nilai, budaya, dan semangat juang masa depan itu harus dimenangkan dengan cara yang bermartabat.



TAGS

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Next
This is the most recent post.
Previous
Posting Lama