News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Kasus Eks Kapolres Ngada Mandek, Asti Laka Lena Desak Hukuman Berat & Kebiri Kimia

Kasus Eks Kapolres Ngada Mandek, Asti Laka Lena Desak Hukuman Berat & Kebiri Kimia

Mindriyati Astiningsih Laka Lena, bersama Forum Aliansi Perlindungan Perempuan dan Anak (APPA) NTT, mendatangi Gedung DPR RI untuk menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi III dan Komisi VIII DPR RI, Selasa (20/5/2025). Foto : Tim
Jakarta,NTTPRIDE.COM - Ketua Tim Penggerak PKK Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Mindriyati Astiningsih Laka Lena, bersama Forum Aliansi Perlindungan Perempuan dan Anak (APPA) NTT, mendatangi Gedung DPR RI untuk menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi III dan Komisi VIII DPR RI, Selasa (20/5/2025).

Kehadiran mereka turut didampingi oleh Forum Perempuan Diaspora NTT serta sejumlah lembaga pemerhati hak perempuan dan anak dari berbagai daerah, termasuk tokoh-tokoh agama dan organisasi masyarakat sipil. 

Agenda utama kunjungan ini adalah menyuarakan kekhawatiran mendalam atas mandeknya proses hukum dalam kasus dugaan kekerasan seksual yang melibatkan mantan Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja.

Ketua TP PKK NTT, Asti Laka Lena, yang juga menjadi juru bicara dalam forum ini menegaskan bahwa kasus kekerasan seksual tersebut tidak hanya merupakan pelanggaran hukum, tetapi juga penghinaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan integritas institusi penegak hukum.

Kejahatan seksual ini meninggalkan luka mendalam bagi para korban, keluarga korban, dan masyarakat NTT. Ini bukan kasus biasa ini adalah cermin betapa daruratnya situasi kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di NTT,” ujar Asti.

Ia mengungkapkan fakta mencengangkan bahwa 75 persen dari total 3.052 narapidana di NTT hingga tahun 2025 adalah pelaku kejahatan seksual. Ini menegaskan status NTT sebagai Provinsi Darurat Kekerasan Seksual terhadap Perempuan dan Anak.

Lebih lanjut, Asti memaparkan bahwa berdasarkan data Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A), pada tahun 2024 tercatat sekitar 400 kasus kekerasan, sementara hingga Maret 2025 sudah tercatat 139 kasus. Diperkirakan, jumlah ini akan menembus angka 600 kasus sepanjang tahun 2025, meningkat hampir 50 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

Ini hanyalah puncak gunung es. Masih banyak kasus yang belum terlaporkan karena korban takut atau tidak tahu harus melapor ke mana,” tegasnya.

Berdasarkan data Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Provinsi NTT, dari 139 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang ditangani hingga 9 Mei 2025, 129 di antaranya merupakan kekerasan seksual.

Dalam forum RDPU tersebut, APPA NTT mengajukan empat tuntutan utama:

1. Mengawal proses hukum secara transparan dan adil terhadap AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja yang hingga kini berkas perkaranya masih bolak-balik antara Polda NTT dan Kejati NTT sejak Maret 2025. Mereka mendesak pelaku dijatuhi hukuman maksimal dan kebiri kimia, serta menjamin perlindungan bagi korban, saksi, dan keluarganya.

2. Meminta Komisi III DPR RI mendesak Kepolisian Republik Indonesia untuk memastikan Penyidik Kepolisian Daerah NTT menjerat pelaku dengan UU RI Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, UU RI Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, UU RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang, UU RI Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU RI Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi

3, Meminta Komisi III DPR RI mendesak Kejaksaan Agung untuk memastikan Kejaksaan Tinggi NTT  Menggunakan dakwaan kumulatif kepada Pelaku dengan Undang-Undang berikut: UU RI Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, UU RI Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang

4. Mendorong penerapan ketentuan subsidiar restitusi dengan pidana penjara minimal 5 tahun serta memastikan proses hukum yang ramah anak.

Menanggapi tuntutan tersebut, Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, S.H., M.H., menyatakan dukungan penuh. Ia bahkan menegaskan akan segera menindaklanjuti kasus ini secara serius.

Tuntutan teman-teman ini langsung saja kita jadikan sebagai kesimpulan rapat. Kita semua marah dan merinding mendengar kasus ini. Kalau hukum memungkinkan, saya sendiri yang akan menembak pelaku,” tegas Habiburokhman.

Ia juga memastikan akan segera memanggil Kepala Kejaksaan Tinggi dan Kapolda NTT untuk memberikan klarifikasi serta memastikan proses hukum berjalan cepat dan tegas.

Kasus ini tidak boleh berlarut-larut. Sudah dua bulan berkas bolak-balik. Kalau faktanya sudah jelas, proses harus segera dilanjutkan sampai pelaku dihukum seberat-beratnya. Kami juga akan kirim tim untuk memantau langsung persidangan,” pungkasnya.

Langkah tegas dari Komisi III DPR RI ini memberikan secercah harapan bagi para korban dan masyarakat NTT, bahwa keadilan tidak akan berhenti di tengah jalan.


Editor : Ocep Purek 



Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.