News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

APPA NTT Kecam Vonis 19 Tahun Eks Kapolres Ngada: Korban Eksploitasi Malah Jadi Terpidana

APPA NTT Kecam Vonis 19 Tahun Eks Kapolres Ngada: Korban Eksploitasi Malah Jadi Terpidana

Dokumentasi pada demo alinas kawal putusan kasus Eks Kapolres Ngada di Pengadilan Negeri Kupang Kelas 1A
Kupang, NTTpride.com-Kasus kekerasan seksual dan eksploitasi anak yang melibatkan mantan Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja, kembali memantik gelombang keprihatinan publik.

Aliansi Perlindungan Perempuan dan Anak Nusa Tenggara Timur (APPA NTT) menilai putusan 19 tahun penjara terhadap Fajar masih jauh dari rasa keadilan, terutama karena salah satu korban, S.H.D.R. alias Fani, justru dijatuhi hukuman 11 tahun penjara.

APPA NTT menegaskan, kasus ini menunjukkan kegagalan sistem hukum dalam melindungi korban eksploitasi seksual, bahkan ketika pelaku utamanya adalah aparat penegak hukum yang seharusnya menjadi pelindung rakyat.

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kupang menjatuhkan hukuman 19 tahun penjara kepada AKBP Fajar, satu tahun lebih ringan dari tuntutan jaksa yang menuntut 20 tahun.

Padahal, berdasarkan fakta persidangan, Fajar tidak hanya memperkosa anak-anak di bawah umur, tetapi juga mengunggah video kekerasan seksual tersebut ke situs porno internasional, menimbulkan trauma mendalam dan merusak citra institusi kepolisian.

APPA NTT menilai, majelis hakim seharusnya berani mengambil langkah ultra petita menjatuhkan hukuman lebih berat dari tuntutan jaksa demi memberi pesan moral bahwa negara berpihak mutlak pada korban anak dan perempuan.

Kasus Fani menjadi sorotan tersendiri. Perempuan muda itu, yang turut didakwa karena mengantar anak berusia 6 tahun (IBS) untuk dicabuli, ternyata juga merupakan korban kekerasan seksual dan eksploitasi dari AKBP Fajar.

Alih-alih dipulihkan, ia justru divonis 11 tahun penjara. Padahal, menurut APPA NTT, Fani adalah korban berlapis anak tanpa keluarga yang tumbuh dalam situasi rentan dan dimanipulasi oleh pelaku yang memiliki kekuasaan.

APPA NTT menilai negara gagal memenuhi mandat Pasal 33 UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak, yang mewajibkan negara hadir untuk anak-anak terlantar dan korban eksploitasi.

Ketua TP PKK NTT dan Koordinator APPA NTT, Asti Laka Lena, menilai vonis tersebut tidak memberi efek jera yang sepadan.

Kekerasan terhadap perempuan dan anak di NTT sudah pada kondisi yang mengkhawatirkan. Kasus ini membuktikan bahwa pelaku bisa datang dari siapa saja bahkan dari aparat penegak hukum. Institusi kepolisian harus melakukan pembersihan internal dan menjamin tidak ada impunitas,” ujarnya.

Ia juga menegaskan pentingnya pemenuhan hak-hak korban.

Kami mengapresiasi adanya penetapan restitusi Rp 359 juta, namun kami menuntut agar uang denda Rp 5 miliar dan restitusi benar-benar dibayarkan demi memulihkan hak korban,” tambahnya.

Rohaniwan sekaligus Pembina APPA NTT, Pdt. Mery Kolimon, menegaskan perlunya keadilan yang berpihak pada korban.

Sistem peradilan harus melihat kasus ini secara utuh bukan hanya tindakan, tetapi juga konteksnya. Fani adalah representasi perempuan muda yang rentan, yang seharusnya dilindungi dan direhabilitasi, bukan dijebloskan ke penjara dengan hukuman berat,” ujarnya.

Ia menambahkan, “Kami mendesak agar tim kuasa hukum Fani menyatakan banding. Hukum harus mengakui statusnya sebagai korban eksploitasi dan meninjau ulang vonis yang tidak manusiawi.”

Dari sisi solidaritas global, Ketua Forum Perempuan Diaspora NTT (FPD NTT), Sere Aba, menyatakan kekecewaan mendalam.

Perempuan diaspora NTT sangat terpukul. Kasus ini harus menjadi momentum bagi seluruh aparat penegak hukum untuk merefleksikan kembali komitmen perlindungan terhadap perempuan dan anak,” tegasnya.

Restitusi adalah hak korban dan harus dipenuhi sepenuhnya. Pelaku bahkan tidak menunjukkan penyesalan, ini seharusnya menjadi alasan kuat untuk memaksimalkan hukuman,” lanjutnya.

Sebagai representasi masyarakat sipil, APPA NTT menuntut langkah konkret dari semua pihak, antara lain:

1. Mendesak Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk mengajukan banding, agar hukuman terhadap AKBP Fajar ditingkatkan menjadi hukuman maksimal sesuai tuntutan awal, dengan mempertimbangkan penerapan prinsip ultra petita.

2. Mendorong tim kuasa hukum S.H.D.R. alias Fani untuk mengajukan banding dan memperjuangkan pengakuan Fani sebagai korban eksploitasi, bukan pelaku.

3. Menuntut pemenuhan restitusi sebesar Rp 359.162.000 bagi para korban anak sebagai bentuk pemulihan trauma.

4. Mendesak Polri melakukan reformasi internal dan pengawasan yang ketat agar kasus serupa tidak terulang.

APPA NTT menegaskan bahwa perjuangan belum selesai. Kasus ini bukan sekadar soal vonis, melainkan ujian bagi negara dalam memperlihatkan keberpihakan pada korban.

Kami mengajak semua elemen masyarakat untuk mengawasi proses banding, kasasi, hingga peninjauan kembali agar tidak menjadi ruang impunitas baru. Hukum harus berpihak pada korban, bukan melindungi pelaku,” tegas pernyataan akhir APPA NTT.


Editor: Ocep Purek 







TAGS

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.