Jejak Digital Bisa Jadi Senjata: Talkshow KPPG NTT Bongkar Ancaman Media Sosial bagi Perempuan
![]() |
Talkshow bertema “Perempuan NTT Terlindungi dari Ancaman Negatif Media Digital”, Minggu (25/5/2025). Foto : Ocep Purek |
Acara ini berlangsung di Kantor DPD I Partai Golkar NTT dengan mengusung tagline: “Perempuan Golkar Bergerak, Indonesia Maju."
Talkshow tersebut dihadiri berbagai kalangan, mulai dari perwakilan partai politik, lembaga pegiat perempuan, hingga organisasi kemahasiswaan seperti GMNI, HMI, dan PMKRI. Para peserta tampak antusias menyimak pemaparan dari para narasumber yang kompeten di bidangnya.
Empat narasumber utama hadir untuk membedah persoalan media digital dari perspektif akademis, psikologis, hukum, dan aktivisme sosial, yakni:
Maria Via Dolorosa Pabhaswan, S.Sos, M.Med.Kom (Akademisi), Marselino K.P. Abdi Keraf, S.Psi., M.Si., M.Psi (Psikolog), AKBP Ribka Huberta Hangge, SH., MH (Kasubdit PPA Ditreskrimum Polda NTT), Rahmawati Bagang (Direktur LSM Rumah Perempuan Kupang).
Dari sisi Psikolog, Abdi Keraf menekankan pentingnya membangun "sistem pertahanan diri" di tengah serbuan informasi dan konten negatif di media digital. Ia menjelaskan, paparan konten yang merendahkan martabat individu, khususnya perempuan, dapat menyebabkan stres berat hingga berujung depresi atau bahkan bunuh diri.
“Kalau kita tidak menyadari bahwa kita pun bisa menjadi korban dari sekitar kita, maka kita gagal membangun pertahanan diri. Banyak perempuan yang merasa dihancurkan oleh citra diri mereka sendiri di media sosial. Itu bukan hanya soal malu, tapi dampaknya bisa sampai ke keluarga, anak-anak, dan masa depan mereka,” tegas Abdi.
Ia juga memperingatkan bahaya "nomophobia" atau ketergantungan berlebih pada ponsel yang menyebabkan korupsi waktu dalam relasi keluarga. “Kalau kita gunakan HP lebih dari 3 jam sehari tanpa kontrol, maka waktu untuk menyapa anak, pasangan, dan sesama kita akan hilang. Ini penyimpangan perilaku yang serius,” katanya.
Dari sisi Akademisi, Maria Rosi menyoroti kian tipisnya batas antara ruang publik dan privat di media sosial.
“Ketika ruang privat kita bocor, kejahatan digital bisa masuk dengan mudah. Media sosial membaca aktivitas kita lewat algoritma, sehingga kita harus bijak membedakan mana data yang bisa dibagikan dan mana yang harus dilindungi,” jelasnya.
Rosi mengingatkan agar masyarakat tidak sembarangan membagikan informasi sensitif seperti data medis, alamat sekolah anak, atau kebiasaan harian.
“Itu bisa dimanfaatkan oleh predator. Jejak digital tidak pernah hilang, dan itu bisa berdampak pada masa depan, termasuk peluang kerja,” tambahnya.
Dari sisi hukum, AKBP Ribka Hangge mengungkap masih tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di NTT. Ia menjelaskan, Polda NTT saat ini memiliki unit khusus penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak, termasuk perdagangan orang.
“Pelaporan kasus bisa langsung ke SPKT di Polda NTT. Tapi lebih dari itu, kita semua punya kewajiban moral dan hukum untuk melaporkan bila menemukan kasus kekerasan, karena korban sering kali tidak berdaya,” ujar Ribka.
Ia juga menyoroti peran orang tua dalam pengawasan digital, terutama dalam mencegah eksploitasi seksual anak melalui media sosial.
“Sekarang banyak kasus prostitusi online melibatkan anak-anak usia 13–18 tahun. Dan itu tidak hanya terjadi di keluarga kurang mampu. Ini darurat moral dan sosial,” tegasnya.
Aktivis perempuan, Rahmawati Bagang dari Rumah Perempuan Kupang menekankan pentingnya edukasi berkelanjutan bagi keluarga, komunitas, dan lembaga pendidikan.
“Media digital adalah pedang bermata dua. Kita harus membekali generasi muda dengan literasi digital yang kuat agar mereka bisa menjadi pengguna yang bijak, bukan korban,” katanya.
Menanggapi hal tersebut, Sekretaris DPD I Partai Golkar NTT, Welhelmintje S. L. Sinlaeloe menegaskan kampanye Perlindungan Perempuan dan Anak Perlu Gerakan Bersama.
Ia menyebut Golkar bersama Aliansi Perlindungan Perempuan dan Anak (APPA) telah aktif melakukan advokasi, termasuk dalam RDP dengan Komisi III dan XIII DPR RI, serta melibatkan LSM, DP3A, PKK, akademisi, dan fraksi-fraksi di DPRD.
“Kita semua punya perwakilan di parlemen. Jadi hasil diskusi ini penting disampaikan ke fraksi masing-masing agar bisa ditindaklanjuti, termasuk oleh dinas terkait seperti Dinas Pendidikan,” ujarnya.
Ia juga menekankan pentingnya sinergi, bukan hanya antar lembaga, tapi juga dengan media.
“Ke depan, media bukan hanya meliput, tapi bisa jadi narasumber dan bagian dari kampanye, karena mereka membentuk opini publik," jelasnya.
KPPG NTT berharap kegiatan ini bisa memperkuat jejaring kerja antar organisasi dalam upaya pencegahan kekerasan dan membangun kesadaran digital yang sehat dan inklusif.
Editor : Ocep Purek