News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Ketika Dialog Menjadi Jembatan: Memaknai Kunjungan Gubernur NTT di Jantung Protes Pocoleok

Ketika Dialog Menjadi Jembatan: Memaknai Kunjungan Gubernur NTT di Jantung Protes Pocoleok

Alvino Latu, Aktivis GMNI. Foto: Penulis 
NTTpride.com - Sebuah peristiwa penting terjadi di tanah Pocoleok, Manggarai, pada Juli 2025 lalu. Di tengah ketegangan antara rencana pembangunan dan kekhawatiran warga, Gubernur NTT, Emanuel M. Lakalena, melakukan langkah yang tak biasa namun sarat makna. Ia tidak memilih zona nyaman dengan menemui para pendukung, melainkan berjalan langsung ke jantung perlawanan: Kampung Lungar, sebuah basis utama penolakan terhadap proyek geotermal.

Keputusan ini lebih dari sekadar kunjungan; ini adalah sebuah pernyataan bahwa dialog adalah jalan utama untuk menjembatani perbedaan.

Kekuatan Mendengar: Memecah Kebekuan, Mengakui Kecemasan

Selama ini, narasi yang terbangun adalah adanya dua kubu yang berseberangan: warga pro dan warga kontra. Undangan sosialisasi dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) sering kali hanya dihadiri oleh mereka yang telah setuju, sementara suara penolakan bergema di luar forum resmi.

Kebuntuan komunikasi ini menciptakan jurang yang semakin dalam, di mana satu pihak merasa diabaikan dan pihak lain merasa niat baiknya disalahpahami. Langkah Gubernur Melki menerobos kebuntuan ini.

Dengan mendatangi Lungar, ia secara efektif mengatakan: "Suara Anda penting. Ketakutan Anda nyata, dan kami datang untuk mendengarnya." Ini adalah inti dari kekuatan dialog. Dialog sejati bukan dimulai dengan tujuan meyakinkan, tetapi dengan kesediaan untuk mendengarkan.

Kecemasan warga Pocoleok rasa takut kehilangan kampung halaman, kekhawatiran akan kerusakan lingkungan, dan kegelisahan akan masa depan air serta tanah adat adalah hal yang sangat manusiawi dan absah. Dialog yang diprakarsai gubernur ini berfungsi sebagai validasi. Ia mengakui bahwa protes warga bukanlah gangguan bagi pembangunan, melainkan bagian krusial dari proses demokrasi yang harus dikelola dengan empati. Negara, melalui pemimpin tertingginya di daerah, hadir bukan untuk memaksakan kehendak, melainkan untuk memahami keresahan rakyatnya.

Dari Dialog Menuju Jaminan: Membangun Kontrak Kepercayaan

Kehadiran seorang pemimpin di tengah warga yang menolak secara tajam adalah sebuah pertaruhan politik, namun di situlah letak kekuatannya. Dialog tersebut mengubah dinamika dari konfrontasi menjadi kolaborasi.

Gubernur tidak hanya mendengar, tetapi juga menempatkan dirinya sebagai penjamin. Janjinya bahwa kampung halaman Pocoleok akan dilestarikan dan bahwa teknologi akan digunakan untuk memitigasi risiko lingkungan menjadi sebuah kontrak kepercayaan.

Ini bukan lagi sekadar janji korporasi (PLN) yang mungkin terasa jauh, tetapi jaminan personal dari seorang pemimpin yang mempertaruhkan reputasinya. Dialog tatap muka mengubah jaminan abstrak menjadi ikatan konkret. Warga tidak lagi hanya berhadapan dengan entitas perusahaan, tetapi dengan pemerintah yang berjanji akan mengawal dan memastikan tidak ada pihak yang dirugikan. Ini menunjukkan bahwa pembangunan dan kesejahteraan warga bukanlah dua hal yang harus dipertentangkan, melainkan dapat berjalan beriringan di bawah pengawasan yang ketat.

Dialog Sebagai Puncak Proses, Bukan Tindakan Instan

Penting untuk dicatat bahwa kunjungan gubernur bukanlah peristiwa tunggal yang ajaib. Ia adalah puncak dari serangkaian upaya dialog yang telah dirintis sebelumnya oleh Pemerintah Kabupaten Manggarai dan PLN. Teks asli mencatat bahwa pengembang "hadir menyapa gendang-gendang di Pocoleok", sebuah kiasan indah yang menunjukkan penghormatan terhadap adat dan budaya setempat.

Proses hukum terkait pembebasan lahan telah ditempuh, ganti untung telah diberikan, dan program pemberdayaan masyarakat bahkan telah dimulai sebelum proyek utama berjalan. Ini membuktikan bahwa sejak awal, pendekatan yang dipilih adalah persuasi dan partisipasi, bukan paksaan. Dialog gubernur di Lungar menjadi penegas dan penguat dari komitmen yang sudah ada, memastikan bahwa tidak ada warga yang merasa ditinggalkan, bahkan mereka yang paling vokal menolak sekalipun.

Jalan ke Depan: Satu Suara Melalui Saling Memahami

Pada akhirnya, dialog di Pocoleok mengajarkan kita sebuah pelajaran berharga. Energi yang selama ini terkuras untuk konflik dan penolakan dapat dialihkan untuk mengawal pembangunan secara bersama-sama. Suara kritis dari warga, gereja, dan LSM tidak lagi dilihat sebagai ancaman, melainkan sebagai mekanisme kontrol yang penting untuk memastikan proyek berjalan sesuai koridor hukum, sosial, dan lingkungan.

Dengan adanya jaminan rasa aman dari pemerintah, warga Pocoleok dapat melihat masa depan yang lebih cerah. Pengembangan geotermal bukan lagi sekadar proyek energi, melainkan peluang ekonomi, lapangan kerja, beasiswa bagi anak-anak, dan prasyarat kemajuan bagi Manggarai dan NTT secara umum. Kebutuhan akan energi bersih adalah nyata, dan ketergantungan pada BBM dari luar pulau adalah beban.

Di Pocoleok, kita belajar bahwa jembatan paling kokoh menuju kemajuan tidak hanya dibangun dari baja dan beton, tetapi dari fondasi dialog yang tulus, keterbukaan, dan rasa saling percaya. Pemerintah telah mengambil langkah pertama, kini bola ada di tangan semua pihak untuk merajut kembali tenun sosial yang sempat terkoyak dan bersama-sama melangkah menuju masa depan yang lebih terang.


Oleh: Alvino Latu, Aktivis GMNI

Editor: Ocep Purek 


TAGS

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.