Menyalakan Lampu Belajar dari Rumah: Kajian Ilmiah atas Rencana Pergub “Jam Belajar Bersama Orang Tua” di Nusa Tenggara Timur
Oleh : Richardo A. Dasales, SE.,M.M / ASN Pemerintah Provinsi NTT
Pendahuluan: Krisis Literasi dan Krisis Moral Anak Bangsa
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) kembali menempati posisi ke-35 dari 38 provinsi dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia tahun 2024. Salah satu penyebab utama rendahnya IPM ialah lemahnya kualitas pendidikan dasar, khususnya dalam kemampuan literasi dan numerasi. Gubernur NTT, Emanuel Melkiades Laka Lena, bahkan mengungkapkan bahwa kini masih ada mahasiswa yang belum cakap membaca dan berhitung.
Krisis ini diperparah oleh realitas sosial yang mengkhawatirkan. Laporan KPAD Lembata (2024) mengungkapkan bahwa 85% pelajar di 16 SMP dan SMA aktif dalam perilaku seksual bebas yang berawal dari grup WhatsApp vulgar. Sementara itu, PPATK mencatat sebanyak 197.000 anak usia 11–19 tahun di Indonesia telah terlibat dalam judi online sepanjang tahun 2024. Fenomena ini menunjukkan bahwa pendidikan formal semata tidak lagi cukup; dibutuhkan pendidikan moral dan spiritual berbasis keluarga.
Dalam konteks itulah, rencana Gubernur NTT untuk menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) tentang Jam Belajar di Rumah Bersama Orang Tua menjadi relevan dan mendesak. Kebijakan ini bukan sekadar intervensi administratif, tetapi sebuah gerakan moral, sosial, dan kultural untuk menghidupkan kembali fungsi keluarga sebagai sekolah pertama bagi anak.
Landasan Filosofis: Rumah sebagai Sekolah Pertama
Gagasan ini berakar pada pandangan klasik dan modern tentang pendidikan. Aristoteles dalam Politika menyatakan bahwa keluarga adalah asosiasi alamiah untuk memenuhi kebutuhan manusia, bukan hanya secara fisik, tetapi juga moral. Ki Hajar Dewantara menegaskan bahwa “setiap rumah adalah sekolah pertama, dan setiap orang tua adalah guru utama.”
Dengan semangat yang sama, Gubernur Melki menghidupkan kembali pandangan tersebut: menjadikan rumah sebagai “ruang belajar pertama” dan orang tua sebagai “guru utama.” Konsep ini sejalan dengan filsafat Nel Noddings (2002) tentang education as a moral practice bahwa pendidikan sejati lahir dari relasi kasih sayang dan perhatian dalam rumah tangga.
Sementara Jean-Jacques Rousseau dalam Émile ou de l’éducation menekankan pentingnya pendidikan yang selaras dengan alam dan lingkungan keluarga. Ia melihat bahwa nilai-nilai moral anak tumbuh melalui teladan dan pengalaman langsung bersama orang tua. Dengan demikian, kebijakan Pergub ini tidak hanya administratif, tetapi memiliki fondasi filosofis yang kuat tentang kemanusiaan dan moralitas.
Dimensi Psikopedagogis: Menumbuhkan Budaya Literasi dan Disiplin Belajar
Usulan jam belajar pukul 17.30–19.00 bukan sekadar soal waktu, tetapi desain pedagogis yang memperkuat interaksi emosional dan kognitif antara anak dan orang tua. Berdasarkan teori Lev Vygotsky (1978) tentang zone of proximal development, anak belajar paling efektif dalam interaksi dengan orang yang lebih mampu dalam hal ini, orang tua.
Penelitian Dr. Wayan Weda Kusuma (2023) menunjukkan bahwa interaksi positif anak dan orang tua selama belajar di rumah meningkatkan motivasi belajar hingga 60% dibanding anak yang belajar sendiri. Temuan ini memperkuat riset OECD (2021) yang menyebut keterlibatan orang tua berpengaruh positif terhadap prestasi akademik, motivasi, dan kesejahteraan mental anak.
Selain itu, pembiasaan jam belajar yang konsisten juga melatih disiplin waktu, fokus, dan pengendalian diri elemen penting dari executive function otak yang berperan besar dalam kesuksesan jangka panjang anak.
Dimensi Sosiokultural: Revitalisasi Ruang Keluarga dan Spiritualitas
Di tengah disrupsi digital dan meningkatnya individualisme di kalangan remaja, jam belajar bersama keluarga menjadi strategi sosial yang menumbuhkan kembali ruang kebersamaan, doa, dan refleksi moral.
Paulo Freire (1970) dalam Pedagogy of the Oppressed menegaskan bahwa pendidikan sejati lahir dari dialog manusia dengan manusia dalam kesadaran kritis (conscientization). Ketika keluarga NTT duduk bersama membaca, berdiskusi, dan berdoa setiap sore, mereka sebenarnya sedang membangun kesadaran kolektif baru bahwa belajar adalah bagian dari kehidupan, bukan sekadar tugas sekolah.
Lebih jauh, kebijakan ini mencerminkan nilai integral human development sebagaimana diajarkan Emmanuel Mounier (1949) bahwa manusia berkembang secara utuh hanya bila akal, hati, dan iman berjalan beriringan. Dengan demikian, Pergub ini tidak hanya mendidik kecerdasan, tetapi juga menyuburkan spiritualitas dan moralitas anak-anak NTT.
Perspektif Pembangunan Manusia: Pendidikan Sebagai Fondasi IPM
Dalam kerangka makro, kebijakan ini berkontribusi langsung pada peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) NTT. Menurut UNDP (2023), dimensi pendidikan menyumbang lebih dari 30% terhadap peningkatan IPM suatu wilayah. Dengan menghidupkan budaya belajar di rumah, Pergub ini dapat menjadi strategi bottom-up dalam memperkuat human capital melalui keluarga bukan sekadar kebijakan top-down melalui sekolah.
Gubernur Melki secara eksplisit menautkan kebijakan ini dengan perbaikan kualitas sumber daya manusia NTT. Dengan kata lain, setiap lampu belajar yang menyala di rumah-rumah NTT menjadi simbol dari gerakan kolektif pembangunan manusia dari akar rumput.
Aspek Keamanan Sosial dan Moral Digital
Kebijakan ini juga menjadi strategi pencegahan terhadap penyimpangan digital dan kekerasan berbasis daring.
Rencana kerja sama antara Pemprov NTT dan Kepolisian Daerah untuk pencegahan TPPO dan kejahatan seksual digital menunjukkan sinergi antara kebijakan pendidikan dan keamanan sosial.
Dalam perspektif Émile Durkheim, kontrol sosial dan moral harus berakar dari komunitas moral terkecil yakni keluarga. Dengan mengembalikan anak-anak ke ruang keluarga di jam rawan aktivitas daring, Pergub ini berfungsi sebagai benteng sosial melawan arus destruktif dunia digital.
Kritik dan Tantangan Implementasi
Meski bernilai strategis, kebijakan ini tidak lepas dari tantangan. Data BPS NTT (2024) menunjukkan bahwa sekitar 18% rumah tangga di wilayah rural masih kekurangan akses listrik dan fasilitas belajar. Di sisi lain, budaya kerja agraris dan nelayan membuat sebagian orang tua sulit meluangkan waktu di jam sore.
Selain itu, rendahnya literasi orang tua dapat menjadi kendala dalam mendampingi anak belajar. Maka, dibutuhkan pendampingan dan pelatihan bagi orang tua agar jam belajar tidak menjadi tekanan, tetapi ruang dialog dan kasih. Sebagaimana diingatkan John Dewey (1938), pendidikan tidak boleh menjadi “ritual mekanis,” melainkan pengalaman hidup yang bermakna.
Namun, di balik tantangan tersebut, Pergub ini dapat menjadi transformasi lanjutan dari program “Gong Belajar” yang pernah diinisiasi Gubernur Frans Lebu Raya. Bedanya, kini penekanannya bukan pada jam belajar massal, tetapi pada internalisasi nilai belajar dan spiritualitas di dalam keluarga.
Penutup: Menyalakan Lampu Masa Depan dari Rumah
Jika setiap rumah di NTT menyalakan satu lampu belajar di sore hari, sebagaimana dikatakan Gubernur Melki, maka bukan hanya cahaya listrik yang menyala tetapi api peradaban baru yang lahir dari ruang keluarga. Pergub “Jam Belajar di Rumah Bersama Orang Tua” adalah gerakan moral, kultural, dan intelektual yang menempatkan keluarga sebagai pusat pendidikan karakter, literasi, dan spiritualitas.
Dalam bahasa Paulo Freire, inilah bentuk pedagogi harapan: keyakinan bahwa perubahan sosial besar selalu dimulai dari tindakan kecil yang konsisten seperti menemani anak belajar setiap sore. Dari rumah, dari kasih, dari cahaya yang menyala di hati dan pikiran anak-anak NTT, masa depan itu perlahan sedang kita nyalakan bersama.***
