Menata Ulang Kesadaran dan Sistem Kebersihan Sampah Kota Kupang
Oleh: Anjelina rero Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi UNWIRA Kupang
Kota Kupang, ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Timur, kini menghadapi tantangan serius dalam hal kebersihan dan pengelolaan sampah. Masalah ini bukan sekadar urusan estetika kota, tetapi juga menyangkut kesehatan masyarakat, kenyamanan hidup, dan citra daerah.
Berdasarkan data Ombudsman NTT, produksi sampah di Kota Kupang mencapai sekitar 234 ton per hari, sementara yang berhasil diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Alak hanya sekitar 166 ton. Sisanya sering kali menumpuk di lingkungan warga atau terbawa ke saluran air. Dalam periode tertentu, seperti libur Natal dan Tahun Baru, jumlah itu bahkan meningkat hingga 274 ton per hari.
Kondisi ini diperburuk dengan keterbatasan armada pengangkut sampah. Dari sekitar 44 truk yang dimiliki Dinas Kebersihan, hanya 28 unit yang berfungsi, sisanya rusak dan tidak bisa dioperasikan. Tenaga petugas kebersihan yang berjumlah sekitar 326 orang juga harus bekerja ekstra keras mengatasi volume sampah yang jauh lebih besar dari kapasitas normal.
Masalah lain adalah rendahnya kesadaran masyarakat dalam menjaga kebersihan lingkungan. Banyak warga masih membuang sampah sembarangan, tidak memisahkan sampah organik dan anorganik, serta tidak mengikuti jadwal pembuangan yang ditetapkan. Di beberapa kelurahan, tempat penampungan sementara (TPS) juga belum memadai dan sering penuh.
Pemerintah Kota Kupang sejatinya telah berupaya memperbaiki situasi ini. Program seperti “Besti Beruntung” (Bebas Sampah, Pasti Berubah, Untung) dan pengadaan 1.300 kontainer sampah untuk tiap RT merupakan langkah konkret yang patut diapresiasi. Pemerintah juga tengah menyusun roadmap pengelolaan sampah terpadu berbasis ekonomi hijau dan biru, agar sampah tidak hanya dibuang, tetapi bisa diolah menjadi sumber nilai ekonomi.
Namun, sebagaimana banyak kebijakan publik lainnya, tantangan terbesar justru terletak pada pelaksanaan di lapangan dan perubahan perilaku masyarakat. Banyak program berhenti di tataran simbolis karena kurangnya pengawasan, koordinasi, dan partisipasi warga. Padahal, kebersihan kota tidak akan pernah terwujud jika hanya mengandalkan pemerintah.
Sudah saatnya kebersihan menjadi gerakan sosial dan budaya bersama. Pemerintah perlu memperkuat peraturan daerah tentang pengelolaan sampah, termasuk kewajiban memilah sejak sumber dan sanksi tegas bagi pelanggar. Di sisi lain, edukasi publik harus berjalan terus-menerus melalui sekolah, komunitas, media, dan rumah ibadah agar kesadaran kolektif tumbuh secara alami.
Kebersihan seharusnya dimulai dari hal sederhana: memilah sampah dari rumah, tidak membuang di jalan atau saluran air, serta ikut gotong royong di lingkungan masing-masing. Jika setiap warga memiliki rasa tanggung jawab terhadap lingkungan sekitar, maka beban kota akan jauh lebih ringan.
Selain itu, sektor swasta juga perlu dilibatkan lebih aktif. Dunia usaha terutama hotel, restoran, dan katering menyumbang sekitar 11 persen dari total timbulan sampah di kota ini. Pengelolaan sampah di sektor ini harus ditingkatkan melalui kerja sama dengan bank sampah, pengolahan organik, dan sistem daur ulang.
Kebersihan adalah cermin peradaban. Kota yang bersih menandakan warganya berbudaya. Kupang memiliki potensi besar menjadi kota yang hijau dan nyaman, tetapi hal itu hanya akan terwujud bila pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta berjalan seiring dalam satu visi: Kupang Bersih, Kupang Sehat, Kupang Berdaya.
Kita tidak bisa menunggu perubahan datang dari atas. Kebersihan adalah tanggung jawab setiap warga. Saatnya menata ulang kesadaran dan sistem kebersihan kita demi masa depan Kota Kupang yang lebih lestari, sehat, dan bermartabat.
Editor: Ocep Purek
