Gubernur Melki Terima Penulis Buku Perjanjian Lisbon 1859, Bongkar Sejarah Terlupakan Pulau Timor dan Flores
![]() |
Gubernur NTT, Melki Laka Lena menerima kunjungan Penulis Buku Perjanjian Lisbon Tahun 1859 dan Akibatnya Bagi Pulau Timor, Flores, Solor dan Sekitarnya (1847 - 2024), Fransisco Soarez. Foto: Tim |
Dalam suasana penuh keakraban, Fransisco Soarez yang juga seorang _Lawyer_ atau Pengacara tersebut berterima kasih atas kesempatan untuk bertemu dengan Gubernur NTT. Lebih lanjut Ia pun langsung memaparkan kepada Gubernur NTT gambaran umum karya tulisnya yakni sebuah dokumen berbahasa Portugis dan Prancis yang untuk pertama kalinya dirilis Lisboa Imprensa Nacional Portugal (Lembaga Pers Nasional Portugal) tahun 1861, telah membuka lembaran sejarah kolonial Portugis dan Belanda mengenai status kepemilikan kedua belah pihak di insulindias ilhas (kepulauan Nusa Tenggara).
“Tempat yang pertama tentu saya berterima kasih kepada Bapak Gubernur karena di tengah kesibukan namun masih bisa menyempatkan diri untuk saya temui. Jelas ini kehormatan bagi saya,” kata Sisko memulai percakapan.
“Dokumen yang tidak banyak diketahui generasi saat ini baik di Nusa Tenggara Timur, Indonesia maupun di Timor Leste tersebut bernama Tratado de Demarcação e Troca de Algumas Possessões Portuguesas e Neerlandezas No Archipelago de Solor e Timor yang artinya Perjanjian Demarkasi dan Pertukaran beberapa Kepemilikan Portugis dan Belanda di Kepulauan Solor dan Timor,” ujar Sisco sapaan akrabnya yang juga fasih berbahasa Portugis.
Lebih lanjut, Ia menjelaskan bahwa dokumen ini memuat perjanjian antara Portugis dan Belanda, yang ditandatangani tanggal 20 April 1859 oleh António Maria de Fontes Pereira de Melo sebagai utusan resmi Dom Pedro V dari Portugal, dan Maurits Jan Heldewier sebagai utusan resmi Raja William III dari Belanda, telah mengubah secara total status kepemilikan Portugis dan Belanda atas sejumlah pulau di NTT seperti Pulau Timor, Flores, Solor, Adonara, Lomblem (Lembata), Pantar, Ombai serta Atauro (pulau Kambing).
“Perjanjian antara Portugal dan Belanda yang lebih dikenal dengan nama Tratado de Lisboa 1859 (Perjanjian Lisbon Tahun 1859) membawa konsekuensi hukum dan politik bagi kedua belah pihak yang berdampak hingga hari ini. Portugis di satu pihak harus kehilangan sebagian besar wilayah kepemilikannya di Provincia Timor e Solor yang meliputi pulau Flores, pulau Solor, pulau Adonara, dan mengakui kepemilikan Belanda di pulau Timor bagian barat dari batas yang disepakati,” ujar Sisco.
“Portugis juga harus melepaskan klaim kepemilikannya atas pulau Lomblem (Lembata), Pantar dan Ombai. Sementara itu di lain pihak, Belanda yang secara de facto hanya menguasai seluruh Timor bagian barat (kecuali wilayah enklave Oecusse, Ambenu, Noemuti), Maukatar, pulau Sabu dan Rote semakin memperluas wilayah kolonialnya di Residentie Timor en Onderhoorigheden (Keresidenan Timor dan Pulau-pulaunya) yang dilakukan dengan menyerahkan Maubara kepada Portugal serta melepaskan klaim kepemilikannya atas pulau Atauro (Pulau Kambing), mengakui kepemilikan Portugal di pulau Timor bagian timur dari batas yang sepakati, dan memberikan sejumlah “uang kompensasi” kepada Gubernur kolonial Portugis di Dili tanpa sepengetahuan pemerintah Lisbon,” urainya.
“Kelak di kemudian hari akibat hukum serta politik dari penandatanganan Perjanjian Lisbon tahun 1859 menjadi cikal bakal terbentuknya provinsi Nusa Tenggara Timur di Indonesia dan Republica Democrática de Timor Leste, atau dengan kata lain dari Provincia Timor e Solor dan Residentie Timor En Onderhoorigheden kini menjadi provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia dan República Democrática de Timor Leste,” tambah Sisco.
Ia menyebutkan bahwa buku ini merupakan kilas balik sejarah lepasnya pulau Flores, Solor, Adonara dan sekitarnya sebagai wilayah kolonial Portugis dan beralih menjadi wilayah kolonial Belanda.
“Perjanjian Lisbon tahun 1859 yang ditandatangani Portugal dan Belanda merupakan tindak lanjut dari kejahatan terbesar yang dilakukan Jose Joaquim Lopes de Lima yang baru menjabat sebagai Gubernur kolonial Portugis di Provincia Timor e Solor. Ia terjebak dalam diplomasi Belanda yang penuh keramahan dan tanpa persetujuan Pemerintah Lisbon, menerima sejumlah “uang” dari Belanda guna menyerahkan beberapa wilayah teritorial Portugis yang meliputi pulau Flores, Solor, Adonara dan sekitarnya kepada Belanda,” kata Putra Maumere lulusan S1 Fakultas Hukum Universitas Merdeka Malang tersebut.
“Penyerahan Flores, Solor, Adonara dan sekitarnya dijelaskan Sisco, mengambil karakter yang paling memalukan dalam sejarah perjalanan bangsa Portugis.” Tambah Sisco yang juga pernah mengenyam pendidikan di Instituto Nebrija Madrid pada tahun 2021.
Lebih lanjut Ia juga menerangkan bahwa buku hasil karyanya ini terdiri dari 9 bagian antara lain Bagian Pertama yang terdiri dari pendahuluan, latar belakang Perjanjian Lisbon Tahun 1859, Isi Perjanjian Lisbon Tahun 1859, Kapten Perang Hingga Gubernur Kolonial Portugis Di Timor, Flores Dan Solor, 1541-1852.
Kemudian Bagian Kedua terdiri dari Administrasi Pemerintah Kolonial Belanda di Flores, Solor, Adonara, Alor, Pantar Setelah Penandatanganan Perjanjian Lisbon Tahun 1859, Flores-Soemba Regeling, Residen Belanda di Residentie Timor En Onderhoorigheden (Keresidenan Timor dan Pulau-Pulaunya) Sebelum dan Setelah Penandatanganan Perjanjian Lisbon, 20 April 1859.
Bagian Ketiga terdiri dari Perjanjian-Perjanjian Antara Portugis dan Belanda Setelah Penandatanganan Perjanjian Lisbon Tahun 1859, dan Sengketa Arbitrase Internasional Tentang Perbatasan Pulau Timor.
Bagian Keempat terdiri dari Pendudukan Jepang di Residentie Timor En Onderhoorigheden (Keresidenan Timor dan Pulau-pulaunya), Pendudukan Jepang di Colonia Portuguesa De Timor Como Distrito Autônomo (Wilayah Kolonial Portugis Di Timor Sebagai Distrik Otonom).
Bagian Kelima terdiri dari Status Politik Pulau Timor Bagian Barat, Flores, Solor, Adonara, Alor, Pantar Setelah Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945.
Bagian Keenam Terdiri dari Status Provinsi Kolonial Portugis Di Timor Setelah Penandatanganan Perjanjian Lisbon Tahun 1859.
Bagian Ketujuh terdiri dari Dekolonisasi Wilayah Kolonial Portugis Dan Peristiwa Yang Mendahuluinya (Penolakan Dekolonisasi), Dekolonisasi Timor Portugis, Memorandum of Understanding, Proklamasi, Integrasi Timor Timur Sebagai Provinsi Ke-27 Indonesia.
Bagian Kedelapan terdiri dari Referendum Rakyat Timor Timur, 30 Agustus 1999, Timor Leste Menjadi Negara Berdaulat dan Bagian Kesembilan mengisahkan tentang Pulau Flores, Solor, Adonara, Indonesia dan República Democrática De Timor Leste: Dari Misi Evangelisasi dan Satu Provinsi Kolonial Portugis Dipisahkan Oleh Perjanjian Lisbon Tahun 1859.
Sisco juga menekankan bahwa buku hasil karyanya Ia persembahkan bagi generasi muda NTT secara khusus sebagai sumber literasi agar para generasi muda NTT paham dan mengetahui akar sejarah daerahnya sendiri.
Gubernur NTT, Melki Laka Lena usai menyimak dan berdiskusi singkat dengan Sisco sebagai Penulis buku tersebut merasa sangat tertarik dengan buku tersebut, terlebih buku tersebut mengulas salah satu sejarah bangsa NTT.
“Buku sejarah seperti ini tentu patut kita apresiasi. Saya mengapresiasi kepada Penulis karena buku ini tentu akan memperkaya literasi generasi muda kita di NTT, dan tentu juga kita semua masyarakat NTT. Ini sumbangsih yang sangat berharga,” ucap Gubernur NTT.
Gubernur Melki juga mengatakan buku tersebut perlu dibedah lebih lanjut sebagai upaya proses penyempurnaan buku dalam meningkatkan pemahaman mendalam terhadap isi yang diulas dalam buku tersebut.
“Saya ingin buku ini juga nanti kita atur waktunya untuk kita bedah bersama. Kita undang juga para ahli sejarah di NTT, termasuk para cendekiawan, para ahli lainnya yang paham betul budaya NTT, sejarah NTT sehingga tentu akan memperkaya pemahaman literasi kita akan sejarah di NTT.” Jelas Gubernur NTT.
Gubernur NTT juga mengapresiasi kemampuan berbahasa Portugis, Spanyol dan Inggris oleh Si Penulis Buku, Sisco Soarez. Ia menyebutkan hal tersebut patut dicontoh juga oleh generasi muda NTT sehingga dapat memudahkan juga memperkaya pemahaman generasi muda NTT dalam literasi lintas bahasa.
Editor: Ocep Purek