Gubernur NTT Melki Serukan Revolusi Pendidikan: Sekolah Mengajar, Keluarga Membentuk Karakter
![]() |
| Arahan Gubenrur NTT Melki Laka Lena dalam dialog terbuka bertema “Ayo Bangun NTT dari Sekolah” bersama para kepala SMA, SMK, SLB, dan ketua OSIS se-Kota Kupang. Foto: Ocep Purek |
Pesan itu disampaikan Gubernur Melki dalam dialog terbuka bertema “Ayo Bangun NTT dari Sekolah” bersama para kepala SMA, SMK, SLB, dan ketua OSIS se-Kota Kupang di Aula SMA Negeri 2 Kupang, Senin (27/10/2025).
“Kita tidak bisa berharap perubahan lahir dari ruang kelas saja. Rumah adalah sekolah pertama, orang tua adalah guru pertama, dan masyarakat adalah ruang belajar yang sesungguhnya,” tegas Melki di hadapan ratusan peserta dialog.
Suasana dialog berlangsung hangat dan reflektif, dengan berbagai masukan kritis dari kepala sekolah, guru, dan siswa yang menyoroti isu mutu pendidikan, pembatasan gawai, serta penguatan program kewirausahaan dan ruang ekspresi bagi pelajar.
Dalam paparannya, Gubernur Melki menyoroti praktik keliru di dunia pendidikan yang sering menyamakan “wajib belajar” dengan “wajib naik kelas” atau “wajib tamat”.
“Kalau semua anak otomatis lulus tanpa standar, itu bukan kabar baik. Kita sedang menulari virus yang salah. Yang harus menular itu virus kebaikan, bukan mental serba instan,” ujarnya tajam, disambut tepuk tangan peserta.
Melki menegaskan, Pemprov NTT bersama kabupaten/kota akan menata kembali pola pendidikan dari jenjang SD hingga SMA agar kesinambungan mutu terjaga. Pemerintah akan menyiapkan audit kualitas sekolah, mencakup evaluasi tenaga pengajar, metode belajar, dan sarana prasarana.
“Anak-anak NTT tidak boleh hanya pintar di kertas, tapi juga berkarakter, punya moral, dan semangat berwirausaha sesuai potensi daerah,” jelasnya.
Salah satu topik yang menyedot perhatian adalah soal penggunaan handphone di sekolah. Gubernur Melki menegaskan, pemerintah tidak akan melarang gawai, tetapi akan membatasi dan mengatur penggunaannya secara bijak.
“Handphone itu tidak haram, tapi harus ada sensor moral. Di dalamnya ada konten yang jauh lebih berbahaya dari film tanpa sensor dari kekerasan, pornografi, sampai ujaran kebencian,” katanya.
Melki menilai, regulasi pembatasan penggunaan gawai di sekolah sangat mendesak dan harus diiringi dengan pendampingan guru dan orang tua.
“Kalau film saja ada lembaga sensor, kenapa handphone tidak? Harus ada jam di mana anak-anak tidak boleh memegang HP, baik di sekolah maupun di rumah,” tegasnya.
Ketua MKKS SMA Kota Kupang, Hendrik Hati, menilai gagasan Gubernur sejalan dengan kebutuhan nyata sekolah. Ia menyampaikan, pembatasan penggunaan HP kerap mendapat protes dari orang tua karena belum ada payung hukum yang jelas.
“Kami butuh intervensi kebijakan agar sekolah tidak disalahkan ketika melarang siswa membawa HP. Ini soal fokus belajar dan keselamatan moral anak,” katanya.
Hendrik juga mengusulkan agar produk karya siswa dari program One School One Product (OSOP) mendapat dukungan pemasaran.
“Kami berharap ada jalur resmi seperti NTT Mart agar produk siswa bisa dipasarkan dengan baik,” tambahnya.
Kritik tajam datang dari Keisa Anjeli Beda, Ketua OSIS SMKN 3 Kupang, yang menyoroti metode belajar digital yang cenderung pasif.
“Sering kali guru hanya mengirim materi lewat handphone, lalu kami mengerjakan tugas dengan bantuan AI. Kami dapat nilai, tapi tidak tahu apakah benar-benar paham atau tidak,” ujarnya.
Ia menegaskan, pembelajaran tanpa interaksi langsung bisa mengikis kemampuan berpikir kritis siswa.
“Kami ini generasi emas NTT. Kalau tidak benar-benar belajar dan paham, kami akan kehilangan bekal untuk masa depan,” tegas Keisa disambut tepuk tangan peserta.
Menanggapi berbagai usulan, Gubernur Melki memastikan pemerintah akan menyiapkan jalur pemasaran produk sekolah melalui NTT Mart, dan menjadikan guru, siswa, serta orang tua sebagai pasar mandiri.
“Kita bikin ekonomi tertutup. Produk SMA, SMK, dan SLB akan dipasarkan khusus di NTT Mart. Anak-anak belajar memproduksi, guru membeli, orang tua mendukung. Ekosistem pendidikan kita hidup,” ujarnya.
Selain itu, Gubernur juga akan membuka ruang ekspresi seni dan budaya di panggung RRI dan Dinas Pariwisata.
“Anak-anak SMA dan SMK boleh tampil rutin musik, puisi, teater, apa saja. Sekolah bukan hanya ruang akademik, tapi ruang ekspresi,” ujarnya penuh semangat.
Menutup dialog, Gubernur Melki menekankan pentingnya peran keluarga dalam membentuk karakter generasi muda. Ia bahkan menggagas “Jam Belajar Keluarga” setiap sore, pukul 17.30–19.00 Wita.
“Sekolah mengajar akademik, tapi karakter dibentuk di rumah. Setiap sore, orang tua duduk bersama anak, buka buku, bicara tentang pelajaran, berdoa, dan makan bersama. Keluarga itu benteng pertama dan terakhir moral anak,” pesannya.
Dialog “Ayo Bangun NTT dari Sekolah” menjadi titik awal gerakan besar reformasi pendidikan di NTT. Melalui kolaborasi antara sekolah, keluarga, dan masyarakat, Gubernur Melki ingin memastikan bahwa masa depan NTT dibangun bukan sekadar dengan kurikulum tetapi dengan hati, karakter, dan mimpi besar.
“Kalau kita mau NTT bangkit, mulailah dari sekolah. Dari ruang kelas yang jujur, dari keluarga yang peduli, dan dari masyarakat yang berani menjaga anak-anaknya,” tutup Gubernur Melki Laka Lena penuh inspirasi.
Editor: Ocep Purek
